Sunday, 21 August 2016

Fitnah dari pandangan BUDHHA

Janganlah Menfitnah Sesukanya

Oleh: Grandmaster Sheng-yen Lu

Dakini berkata, “Ketika Anda tidak mengerti seorang sadhaka, atau hanya mendengar kabar burung saja, atau pernyataan sepihak, janganlah memfitnah sesukanya. Kecuali, Anda telah sepenuhnya mencerahi prajna, Anda sepenuhnya telah memiliki kemampuan membaca pikiran makhluk lain. Kalau tidak, jangan menfitnah sesukanya.”
Menfitnah adalah kelemahan semua umat manusia.
Ikrar dan sila yang paling gampang dilanggar, tergolong karma ucapan.
Orang awam mudah menfitnah orang lain.
Tidak terkecuali sadhaka.
Sadhaka gampang menfitnah agama dan aliran lain.
Sadhaka gampang memuji diri sendiri dan menfitnah orang lain.
Sadhaka gampang mengorek kesalahan dan kesesatan sadhaka lain.
Sadhaka menfitnah ajaran agama lain.
Sadhaka memiliki pandangan menyimpang terhadap agama, tidak memahami lalu memfitnah “Guru Aliran” dan murid-muridnya, oleh karena itu, penting sekali untuk membuang “pandangan menyimpang” dan “kemelekatan”.
**************
Ketika saya di Taiwan, saya sempat membaca beberapa buku yang menfitnah agama, terutama Tantra Tibet.
Beberapa buku ini ditulis oleh seorang penekun Vijnanavada, ia bahkan mencela guru sesepuh Tantra, Padmasambhava.
Sadhaka ini, juga mencela Guru Aliran Trisastra, Guru Yinshun.
Menurutnya, Tantra Tibet adalah perzinahan.
Padmasambhava adalah Mara Perzinahan.
Guru Yinshun hanya mengakui 6 jenis kesadaran. Sementara, kesadaran ketujuh dan kesadaran kedelapan, Guru Yinshun mengira hanya “nama belaka” adalah keliru.
Di sini, saya jelaskan secara khusus:
Padmasambhava memiliki 5 orang siswi yang memiliki keberhasilan luar biasa, mereka semua adalah rekan Dharma dari Guru Padma.
Kelima orang ini adalah Yeshey Tsogyal, Mandarava, Sakya Devi, Kalasiddhi, dan Tashi.
Kelima orang ini adalah mahasiddha.
Selain itu, yang tercantum di dalam Sutra Tantra, selain kelima orang ini, masih ada lagi 15 orang yang mencapai keberhasilan.
Selain ke-20 orang ini, masih banyak lagi yang lain.
Mereka semua adalah “Dakini” dari Padmasambhava.
Itu sebabnya, Padmasambhava difitnah sebagai guru sesepuh yang berzinah.
Tantra Tibet adalah aliran perzinahan.
Sepengetahuan saya, Sadhana Yab-yum dari Padmasambhava adalah esensi rahasia, merupakan rahasia tertinggi, penekunan sadhana ini, mudah memperoleh kebahagiaan tertinggi, terang, dan sunyata. Sangat berguna terhadap prana, nadi, dan bindu dalam ajaran Tantra.
Tidak tercemar.
Tidak konvensional.
Sempurna.
Silsilah rahasia semacam ini, memang tepat dan benar, merupakan kombinasi dari Kye-rim dan Dzog-rim. Lewat metode kemudahan untuk mencapai kebijaksanaan Tathagata yang tidak konvensional.
(Ini sulit dimengerti oleh orang awam, oleh karena itu, membuat orang berpikiran kotor. Sadhaka sang penulis buku tentu masih belum membuktikan keberhasilan dari sadhana ini, maka lumrah ia menfitnah)
Karena tidak mengetahui esensi rahasia, telah melakukan karma ucapan yaitu menfitnah, ini adalah pelanggaran ikrar dan sila dari sadhaka tersebut.
Sadhaka ini lewat Vijnanavada, menyerang aliran lain, ini juga berarti telah melanggar karma menfitnah.
Menurut saya, dunia ini terlalu banyak orang yang telah melanggar karma ucapan yaitu menfitnah, hanya karena banyak umat yang berada dalam kebutaan, media yang membesar-besarkan, penyiaran yang salah dari mulut insan, rumor dari kalangan yang mempunyai maksud tertentu.
Itu sebabnya, berita yang tidak benar tersebar di seluruh dunia, kebenaran yang sejati telah tenggelam tertutup kabut.
Di dunia ini, sadhaka seharusnya senantiasa bungkam! Agar tidak melanggar sila!


Fitnah dari pandangan KRISTEN

Dalam teks asli Yunani dalam Alkitab, “fitnah” menggunakan kata “katalalew” biasa merujuk pada segala macam perkataan negatif untuk menentang orang lain, misalnya “menentang pemimpin atau Allah” (Bil.12:8; 21:5, 7), “mengumpat” (Mzm 101:5), “menghina” (Ay 19:3), “mengatakan sebuah dusta” (Hos 7:13), “mengatakan sesuatu yang bisa dianggap kurang ajar” (Mal 3:13) atau “memfitnah/ menuduh” (1Pet 2:12; 3:16).
Fitnah… adalah dosa dan setiap dosa akan berakibat berlakunya penghukuman Allah bagi siapa saja yang melakukannya. Sementara akibat yang ditimbulkan dari fitnah itu sendiri sangat berbahaya dan merugikan. Antara lain: dapat memutuskan tali silaturahmi, merugikan orang lain dan diri sendiri, perpecahan, mengotori pikiran, dibenci Allah serta akan dibenci dan dihindari (dikucilkan) oleh orang lain. Dalam Yak 4:11-12 bahkan nampaknya  mempunyai arti yang khusus/berbeda. Ini dapat kita lihat dari ayat 11a: “memfitnah saudaranya atau menghakiminya”. Jadi disini memfitnah diartikan sebagai menghakimi.
Dalam ayat 11b tindakan itu dianggap sebagai “mencela hukum dan menghakiminya”. Kalau memang yang dimaksud adalah memfitnah biasa, bagaimana mungkin tindakan itu dianggap sebagai mencela hukum dan menghakiminya? Yang dimaksud dengan memfitnah di sini adalah: mencela orang (baik di depan maupun di belakang orang itu) karena ia tidak hidup sesuai dengan prinsip hidup kita/pandangan kita, padahal Kitab Suci tidak melarang tindakan orang itu. Kalau kita mencela seseorang karena ia hidup tidak sesuai dengan Kitab Suci, maka itu tentu tidak apa-apa. Tetapi kalau kita mencela orang karena ia tidak hidup sesuai pandangan / prinsip kita yang tidak ada dalam Kitab Suci, maka itu adalah memfitnah yang dimaksudkan oleh Yakobus di sini.

Melalui dua ayat yang singkat tersebut, kita dapat melihat bahwa seperempat dari isinya berkaitan dengan hal “memfitnah” dan “menghakimi”. Kata “memfitnah” muncul 3 kali, sedangkan kata “menghakimi” muncul 4 kali dan kata “hakim” muncul 2 kali. Pokok yang dibahas rasul Yakobus sangatlah jelas, yakni mengingatkan Jemaat untuk tidak saling menghakimi dan saling menfitnah. Kata “fitnah” dapat berarti membicarakan hal-hal yang buruk tentang seseorang tanpa sepengetahuan orang tersebut. Hal yang disampaikan bisa saja benar, separuh benar, atau pun bohong. Kata 'menghakimi' bisa diartikan menetapkan perkara, membedakan ataupun memberikan suatu keputusan. Tindakan menghakimi yang dimaksudkan oleh Yakobus di sini adalah yang dilandasi oleh niat buruk. Sedangkan kata menghakimi dalam ayat-ayat ini perlu dimaknai sebagai tindakan 'menghukum orang lain atas dosa-dosanya'.

Yesus pun sangat mencela tindakan menghakimi. Bila kita baca dalam Injil Mat 7:1-5 dengan teliti (terutama ayat 5), Yesus memperingatkan kita bahwa menghakimi orang lain adalah dosa sangat serius di mata Allah dan kita tidak boleh menghakimi orang lain secara sembarangan. Ukuran yang kita pakai saat menghakimi orang lain akan dipakai oleh Allah untuk menghakimi kita. Dan hal inilah yang sedang disampaikan oleh Yakubus kepada kita. Perhatian pada ayat 5: Yesus menyuruh kita untuk menyingkirkan dulu balok yang ada di mata kita sebelum membantu orang lain menyingkirkan selumbar di matanya. Yesus memperingati kita, bahwa ketika kita mengecam orang lain dan sekaligus menghakimi dia, padahal di mata kita sendiri terselip sebatang balok, tentulah mustahil lagi kita untuk menolong orang tersebut. Jika kita telah menyingkirkan balok dari mata kita, barulah kita bisa menyingkirkan selumbar dari mata orang lain. Yesus tidak mengajarkan kita untuk bersikap tidak peduli pada masalah orang lain karena hal ini juga bukanlah semangat 'mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri'. Oleh karenanya, kita perlu berusaha memahami kehendak Tuhan agar kita tahu bagaimana menerapkan prinsip-prinsip yang telah kita pelajari itu sesuai dengan kehendak-Nya.


Fitnah dari pandangan ISLAM

Kita sering mendengar istilah “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”. Namun rupanya tidak banyak yang tahu darimana istilah ini berasal, dan apa makna sebenarnya dari kalimat tersebut. Pokoknya asal pakai saja, dan ngaku-ngaku itu ajaran Islam, karena kalimat tersebut ‘kelihatannya’ berasal dari Al Qur’an.

Dalam bahasa sehari-hari kata ‘fitnah’ diartikan sebagai penisbatan atau tuduhan suatu perbuatan kepada orang lain, dimana sebenarnya orang yang dituduh tersebut tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan. Maka perilaku tersebut disebut memfitnah. Tapi apakah makna ‘fitnah’ yang dimaksud di dalam Al Qur’an itu seperti yang disebutkan itu? Mari kita telaah.

Di dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh (2) ayat 191 tercantum kalimat “Wal fitnatu asyaddu minal qotli….” yang artinya
“Dan fitnah itu lebih sangat (dosanya) daripada pembunuhan..”.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa Imam Abul ‘Aliyah, Mujahid, Said bin Jubair, Ikrimah, Al Hasan, Qotadah, Ad Dhohak, dan Rabi’ ibn Anas mengartikan “Fitnah” ini dengan makna “Syirik”. Jadi Syirik itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan.

Ayat tersebut turun berkaitan dengan haramnya membunuh di Masjidil Haram, namun hal tersebut diijinkan bagi Rasulullah saw manakala beliau memerangi kemusyrikan yang ada di sana. Sebagaimana diketahui, di Baitullah saat Rasulullah saw diutus terdapat ratusan berhala besar dan kecil. Rasulullah diutus untuk menghancurkan semuanya itu. Puncaknya adalah saat Fathu Makkah, dimana Rasulullah saw mengerahkan seluruh pasukan muslimin untuk memerangi orang-orang musyrik yang ada di Makkah.

Kemudian juga di surat Al Baqoroh (2) ayat 217, disebutkan “Wal fitnatu akbaru minal qotli…” yang artinya
“Fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan..”.
Ayat ini turun ketika ada seorang musyrik yang dibunuh oleh muslimin di bulan haram, yakni Rajab. Muslimin menyangka saat itu masih bulan Jumadil Akhir. Sebagaimana diketahui, adalah haram atau dilarang seseorang itu membunuh dan berperang di bulan haram, yakni bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram.

Melihat salah seorang kawan mereka dibunuh, kaum musyrikin memprotes dan mendakwakan bahwa Muhammad telah menodai bulan haram. Maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa kemusyrikan dan kekafiran penduduk Makkah yang menyebabkan mereka mengusir muslimin dan menghalangi muslimin untuk beribadah di Baitullah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang beriman.

 Tak ada satupun ayat di dalam Al Qur’an yang mengartikan kata “fitnah” dengan arti sebagaimana yang dipahami oleh orang Indonesia, yakni menuduhkan satu perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang dituduh. Kata ‘fitnah’ di dalam Al Qur’an memang mengandung makna yang beragam sesuai konteks kalimatnya. Ada yang bermakna bala bencana, ujian, cobaan, musibah, kemusyrikan, kekafiran, dan lain sebagainya. Maka memaknai kata ‘fitnah’ haruslah dipahami secara keseluruhan dari latar belakang turunnya ayat dan konteks kalimat , dengan memperhatikan pemahaman ulama tafsir terhadap kata tersebut.


Memaknai kata-kata di dalam Al Qur’an dengan memenggalnya menjadi pengertian yang sepotong-sepotong serta meninggalkan makna keseluruhan ayat, hanya akan menghasilkan pemahaman yang melenceng dan keliru akan isi Kitabullah. Dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang hendak menyalahgunakan Kitabullah demi mengesahkan segala perilakunya. Dan ini juga dilakukan oleh orang-orang yang hendak menyelewengkan makna Al Qur’an dari pengertian yang sebenarnya.

Pengenalan

Perkataan fitnah di dalam Al-Quran membawa maksud yang secara umumnya merujuk kepada perkara yang buruk dan kebinasaan. Dari sudut bahasa,  fitnah membawa maksud ujian dan cubaan. Walau bagaimanapun, di dalam minda rata-ratannya orang Melayu, apabila disebut perkataan fitnah, ai membawa maksud tuduhan dusta atau palsu ke atas seseorang. Walaupun ia tidaklah salah sepenuhnya, tetapi ia telah menyempitkan makna fitnah itu sendiri. Di dalam Al-Quran terdapat beberapa maksud fitnah yang lebih luas lagi dari itu seperti yang terdapat dlam beberap ayat berikut:
  • Syirik (Surah al-Baqarah: 191, 193 & 217)
  • Ujian dan cubaan (Surah Toha: 40 & al-Ankabut: 3)
  • Seksa (Surah al-Ankabut: 10, al-Dhariyat: 14 & al-Nahl: 110)
  • Dosa (Surah at-Taubah: 49)
  • Kekufuran (Surah al-Taubah: 48)
  • Pembunuhan dan kebinasaan (Surah al-Nisa’: 101)
  • Berpaling dari jalan kebenaran (Surah al-Ma’idah: 49 & al-Isra’: 73)
  • Sesat (Surah al-Ma’idah: 41)
  • Alasan (Surah al-An’am: 23)
  • Gila (Surah al-Qalam: 6)

Di dalam Hadis Rasulullah pula, Fitnah membawa maksud perselisihan, peperangan, ujian, cubaan, kelalaian, pembunuhan, penyeksaan, kemungkaran, maksiat, kufur, berpaling dari agama. Sekiranya diamati maksud fitnah itu dan dikaitkan dengan media baharu, ia membawa maksud keburukan dan impak negatif dari sudut agama terhadap manusia.